Selasa, 30 November 2010

Try Out UAS 1


1.     The sum of two whole numbers is 37, and the difference of its is 7. The multiplication of its numbers is ...
2.    A year ago, the age of Arman is twice of the age of Amira, and 2 years in future Amira is 2/3  of Arman. Now Amira is ... years old.

3.    Epo’s money equals 3/2 Eli’s money. If the  sum of their money is 35.000,00, then Epo’s money is ….

4.    Prabu’s age 3 years younger than Surti’s age. If the sum of their ages 19 years, next four years  the ratio Prabu and Surti age’s is ….

Kisi-kisi Tes Matematika dari Direktorat

Senin, 29 November 2010

KRITIK ATAS PROGRAM SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (SBI) DAN USULAN PERBAIKANNYA

Ilustrasi: Sekolah Internasional
Ilustrasi: Sekolah Internasional
Dear all,
Saya baru saja mengikuti Seminar Nasional Sekolah Bertaraf Internasional dengan tema “Revitalisasi SBI dalam Rangka Meningkatkan Mutu dan Daya Saing Bangsa” yang diadakan oleh Balitbang Kemdiknas pada tanggal 29-31 Oktober 2010 di Grand Zuri Cikarang, Bekasi.
Tak ada yang baru pada seminar tersebut dan yang ada justru semakin kacaunya pemahaman stake-holders tentang program SBI ini. Bahkan Dirjen Mandikdasmen, Prof Suyanto, secara terang-terangan menyatakan bahwa belum ada program SBI (yang ada baru Rintisan) sehingga judul seminar ini justru dipertanyakannya. Sepanjang sesi seminar pejabat dan staf Kemdiknas memberikan kritik dan pertanyaan serius kepada para pemrasaran yang notabene adalah sesama pejabat Kemdiknas! Jika staf Kemdiknas sendiri belum memiliki pemahaman yang sama dan bulat tentang SBI ini padahal program ini telah berjalan selama sekian tahun maka ini jelas merupakan ‘bencana’. Studi Evaluasi Penyelenggaraan RSBI/SBI yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan (Puslitjaknov) Balitbang dan disampaikan oleh Ir. Hendarman MSc, PhD ternyata hanya mengevaluasi sistem penerimaan peserta, prestasi akademik siswa dan gurunya, sistem pendanaan dan tatakelolanya.
Tak ada evaluasi untuk proses pelaksanaanya di kelas dan apa dampak yang ditimbulkannya. Padahal justru itu yang perlu diteliti.
Hasil studinya justru memperkuat pendapat saya bahwa program RSBI/SBI ini justru akan menurunkan kualitas pendidikan di sekolah yang menyelenggarakannya. Meski simpulannya menyatakan bahwa “Siswa RSBI menunjukkan prestasi akademik yang lebih baik daripada siswa regular” (Of course… of course…! Bukankah mereka memang siswa ‘cream of the cream’ yang melalui seleksi ketat sebelumnya) tapi ternyata secara rata-rata tidaklah menonjol (hanya lebih tinggi 12% di tingkat SD dan 15% di tingkat SMP). Selain itu ditemukan banyak kasus siswa RSBI/SBI yang justru tidak lulus Ujian Nasional!
Ada dua anggota Komisi X DPR RI yang hadir sebagai pembicara pada acara tersebut, yaitu Dedi Wahidi dan Theresia E.E Pardede (Tere). Dedi Wahidi juga menyampaikan pandangannya yang kritis tentang program ini.
Dari berbagai sekolah yang menyampaikan presentasi bagaimana sekolah (R)SBI ini dijalankan di daerah mereka masing-masing jelas sekali terlihat bahwa terjadi implementasi program yang berbeda antara daerah dan sekolah masing-masing dengan segala interpretasi yang mereka pahami. Bahkan masih banyak daerah yang sekedar melakukan ‘kelas bertaraf internasional’ di dalam sekolah yang ditunjuk menjadi penyelenggara (R)SBI.
Karena diundang untuk hadir dan juga diminta untuk memberi masukan maka dengan ini saya sampaikan masukan dan usulan saya tentang program ini. Mohon masukannya untuk memperbaiki apa yang saya usulkan disini.
LATAR BELAKANG :
UU Sisdiknas 2003 Pasal 50 ayat (3) dalam yang berbunyi sbb :
3)  Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
Istilah ‘satuan pendidikan yang bertaraf internasional’ itu kemudian diterjemahkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 17 tahun 2010 Pasal 1 No 35 menjadi :
“Pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju.”
Pada PP no 17 tahun 2010 ini frase ‘satuan pendidikan yang bertaraf internasiona’l dalam UU sisdiknas telah berubah menjadi ‘Pendidikan bertaraf internasional’ dan kemudian dijelaskan dengan tambahan keterangan Pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju.”
Pada tahap ini saja telah terjadi penyimpangan definisi di mana pada awalnya pernyataan dalam UU Sisdiknas adalah merujuk kepada sebuah tingkatan keunggulan kualitas yang harus dicapai (yang diberi istilah ‘bertaraf internasional”) sedangkan pada PP no 17 tahun 2010 telah berubah makna menjadi sebuah sistem pendidikan yang terpisah dan kemudian berkembang dalam sebuah Peraturan Menteri (Permen 78 Tahun 2009). Sistem ini bertentangan dengan amanat yang ada dalam Sistem Pendidikan Nasional yang dinyatakan dalam pertimbangan sbb :
b.   bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang;
Definisi yang dimunculkan dalam PP No 17 tahun 2010 ini sendiri tidak jelas acuan, kriteria dan rujukan akademik dan empiriknya. Istilah ini tidak pernah dikenal sebelumnya dan seolah muncul begitu saja dari langit dan berbeda dengan apa yang diamanatkan oleh UU Sisdiknas itu sendiri.
Karena istilah ini tidak memiliki rujukan yang jelas maka istilah ini kemudian diinterpretasikan secara bebas (dan cenderung sembrono) oleh Kemdiknas sehingga menimbulkan berbagai problem dan konsekuensi serius sampai sekarang dan masih belum dapat dipecahkan. Padahal sampai saat ini lebih dari seribu sekolah telah di RSBI-kan. (SD= 195, SMP= 313, SMA=320, SMK=247)
BEBERAPA MASALAH YANG TIMBUL
Karena konsep ‘sekolah bertaraf internasional’ ini tidak memiliki landasan akademik dan empirik yang memadai, dan hanya berpijak pada landasan hukum, maka konsep dasar yang dirumuskan menimbulkan berbagai masalah yang mendasar. Beberapa diantaranya adalah :
  1. Penetapan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam mengajarkan beberapa bidang studi menimbulkan banyak masalah dan kontroversi. Kontroversinya adalah bahwa secara empirik ternyata kebijakan ini justru dapat menyebabkan merosotnya nilai dan kompetensi siswa di bidang studi yang diajarkan. Banyak hasil kajian dan juga pengalaman negara Malaysia selama hampir 8 tahun ternyata menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Inggris (asing) untuk bidang studi IPA dan MAT justru menurunkan mutu siswa (baca http://ms.wikipedia.org/wiki/Pengajaran_dan_Pembelajaran_Sains_dan_Matematik_dalam_Bahasa_Inggeris). Pengalaman negara Malaysia dengan program pengajaran sains dan matematik di sekolah-sekolah di Malaysia dengan menggunakan bahasa pengantar bhs Inggris[disebut PPSMI] yang telah dimulai sejak tahun 2003 dan akan dihentikan secara total pada 2012 nanti karena dianggap GAGAL. Dari satu hasil riset skala besar yang melibatkan pakar dari sembilan universitas negeri di Malaysia dan lebih dari 15 ribu siswa, PPSMI ini memang tidak menghasilkan apa yang diharapkan pencetusnya. Yang bisa survive hanya sekolah yang berada di kota besar dan sekolah berasrama di kota; pada jenis sekolah lainnya nyaris tanpa ampun terjadi degradasi penurunan mutu. Jadi alih-alih akan meningkatkan mutu pembelajaran Matematika dan IPA yang terjadi justru sebaliknya. Bahkan negara Malaysia yg JAUH LEBIH SIAP secara budaya, infrastruktur, dan SDM dalam menerapkan sistem ini menganggap program ini GAGAL diterapkan dan akan kembali menggunakan bahasa Melayu utk mengajar Sains dan Matematika di sekolah-sekolah mereka. Jadi sungguh salah besar jika kita justru akan mengulangi kesalahan yang dilakukan oleh negara Malaysia.
  2. Penetapan bahasa Inggris untuk digunakan sebagai bahasa pengantar untuk bidang studi IPA dan Matematika adalah kebijakan yang sembrono dan tidak didasarkan pada studi empiris samasekali. Ide menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran juga digunakan secara serampangan dan benar-benar di luar kaidah sehingga justru mengakibatkan kekacauan dan kemerosotan mutu pembelajaran nasional kita. Adalah tidak mungkin kita mengharapkan guru-guru kita untuk menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dengan kemampuan berbahasa Inggris yang ada. Berdasarkan hasil test TOEIC pada 600 guru dan kepala sekolah RSBI terungkap bahwa 60% dari mereka berada pada level paling rendah kemampuan bahasanya. Mengharapkan guru-guru yang berada pada level terendah kemampuan berbahasa Inggrisnya untuk mengajarkan materi IPA dan Matematika dalam bahasa Inggris adalah kebijakan yang sungguh tidak bertanggungjawab.
  3. Penggunaan kata atau istilah ‘bertaraf internasional’ akhirnya menimbulkan banyak program-program yang dipaksakan agar dapat memenuhi kriteria ‘bertaraf internasional’ tersebut. Penggunaan standar ISO, pengadopsian sistem Cambridge, IBO, Sister School, dll. yang dimaksudkan untuk memberikan justifikasi ‘bertaraf internasional’ tersebut sebetulnya tidaklah esensial dan sekedar aksesoris dan kosmetik. Hal ini menimbulkan konsekuensi dan resiko di bidang akademik maupun biaya yang mubazir. Salah satunya adalah kesalahan asumsi bahwa Sekolah BERTARAF internasional itu harus diajarkan dalam bhs asing (Inggris khususnya) dengan menggunakan media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD . Padahal negara-negara maju seperti Jepang, Perancis, Finlandia, Jerman, Korea, Italia, dll. yang kita jadikan rujukan tidak perlu menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar jika ingin menjadikan sekolah mereka BERTARAF internasional.
  4. Istilah ‘bertaraf internasional” ini kemudian diterjemahkan dan diinterpretasikan secara bebas tanpa kajian dan studi yang layak. Penekanan pada penggunaan piranti media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD juga menyesatkan seolah tanpa itu maka sebuah sekolah tidak bisa bertaraf internasional. Sebagian besar sekolah hebat di luar negeri masih menggunakan kapur dan tidak mensyaratkan media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD sebagai prasyarat kualitas pendidikan mereka. Program ini nampaknya lebih mementingkan alat ketimbang proses. Sekolah menafsirkan SBI itu sarananya harus wah, ada lap top, infocus, hotspot, AC, VCD. Padahal pendidikan adalah lebih ke masalah proses ketimbang alat. ‘Internasionalisasi’ pendidikan dipandang dari segi FASILITASnya dan bukan pada prosesnya.
  5. Konsep ini kemudian menimbulkan kesalahan asumsi yang mendasar. Kesalahan mendasarnya adalah asumsi dan anggapan bahwa Sekolah Bertaraf Internasional hanyalah bagi siswa yang memiliki standar kecerdasan tertentu. Sekolah yang bertaraf internasional dianggap tidak bisa diterapkan pada siswa yang memiliki tingkat kecerdasan rata-rata. Ini juga mengasumsikan bahwa SNP (Standar Nasional Pendidikan) hanyalah bagi mereka yang memiliki tingkat kecerdasan ‘rata-rata’. Ini adalah asumsi yang berbahaya dan secara tidak sadar telah ‘mengkhianati’ SNP itu sendiri karena menganggap SNP ‘tidak layak’ bagi siswa-siswa cerdas Indonesia. Lantas untuk apa Standar Nasional Pendidikan jika dianggap belum mampu untuk memberikan kualitas yang setara dengan standar internasional? Ini juga paham yang diskriminatif dan eksklusif dalam pendidikan dan menganggap kecerdasan intelektual yang menonjol merupakan segala-galanya sehingga perlu mendapat perhatian dan fasilitas lebih daripada siswa yang tidak memilikinya. Pendidikan yang berorientasi ke hasil adalah paradigma lama dan telah digantikan oleh pendidikan yang berorientasikan pada proses karena pendidikan itu sendiri adalah sebuah proses.
  6. Eksperimen kebijakan RSBI ini jelas salah sasaran karena dengan kecemasan yg sama akan kualitas pendidikan yg dianggap merosot pemerintah AS di bawah George Bush kemarin justru mengeluarkan paket NCLB (No Children Left Behind) yg justru menyasar pada siswa-siswa di level terbawah yg diberi penanganan khusus agar tak ada lagi yg tertinggal secara akademik. Dengan mengangkat kualitas siswa paling bawah sehingga tak ada siswa yg ‘left behind’ maka diharapkan akan mengangkat agregat kualitas pendidikan secara makro.
    Bandingkan ini dengan program RSBI yg justru ditujukan pada siswa-siswa paling berbakat (cream of the cream) dan diberi perlakuan khusus dengan dana berlimpah padahal mereka secara ekonomi dan akademik sebenarnya lebih mampu dan tidak memerlukan bantuan dibandingkan siswa yg tertinggal. Program RSBI ini malah mengabaikan siswa yg secara ekonomis dan akademis justru membutuhkan penanganan dan biaya. Sesungguhnya program RSBI ini adalah program yg memalukan bangsa dan mengkhianati rakyat kecil. Ingat bahwa ini adalah program pemerintah yg dibiayai oleh pajak dan hutang negara dan bukan program swasta.
  7. Kesalahan asumsi lain adalah bahwa ‘sekolah bertaraf internasional’ ini haruslah diajar oleh guru-guru yang memiliki gelar S-2 (tanpa memperdulikan kesesuaian dengan bidang studi yang diajarkan di kelas). Ini adalah interpretasi yang tidak memiliki acuan akademik maupun akademik samasekali selain ‘rule of thumb’ belaka. Kebijakan ini juga bertentangan dengan UU Sisdiknas yang hanya mewajibkan guru untuk memiliki gelar sarjana S-1. Tak ada kajian empirik yang menguatkan kebijakan mengenai guru bergelar master ini dan hanya ditetapkan sekedar untuk menunjukkan eksklusifitas.
  8. Salah satu alasan yang dikemukakan dalam penyelenggaraan SBI ini adalah untuk mencegah kalangan menengah ke atas untuk mengirim anaknya keluar negeri karena ingin memberikan pendidikan yang bermutu bagi anaknya. Tentu saja alasan ini sangat mengada-ada. Apa ada bukti bahwa dengan adanya program RSBI ini maka orang tua yg semula ingin menyekolahkan anaknya di luar negeri lantas membelokkannya ke sekolah RSBI?
    Jika argumen bahwa program RSBI dibuat utk mencegah anak-anak orang kaya bersekolah ke LN maka ini sungguh naïf. Kenapa pemerintah harus membuat program KHUSUS untuk mencegah anak-anak kaya bersekolah di LN? Berapa banyakkah sebenarnya siswa menengah kita yg belajar ke LN dan seberapa urgen masalahnya sehingga harus dibuatkan program khusus utk mencegahnya? Mengapa pemerintah mesti mencegah anak-anak orang kaya tersebut bersekolah ke LN? Apa kepentingan pemerintah (dalam hal ini kementerian pendidikan) dengan mencegah mereka belajar ke LN? Anak-anak pintar (apalagi kaya) dengan mudah bisa mencari pendidikan bermutu DI MANA SAJA. Bagi mereka itu pintu utk masuk ke mana saja selalu terbuka lebar. Mereka tidak butuh sekolah gratis dan bisa bayar sekolah swasta se mahal apa pun. Uang bukan masalah bagi mereka dan pemerintah tidak perlu repot-repot membuatkan sekolah khusus bagi mereka agar tidak perlu belajar ke luar negeri dan justru sebaliknya DORONG mereka utk bersekolah ke swasta dan kalau perlu ke luar negeri.
  9. Program SBI ini di lapangan ternyata menciptakan kesenjangan sosial pada siswa. Program SBI menjadikan sekolah yang mengikutinya menjadi eksklusif dan menciptakan kastanisasi karena hanya bisa dimasuki oleh anak-anak kalangan menengah ke atas. Tingginya pembiayaan yang dikenakan pada orang tua siswa membuat sekolah-sekolah SBI ini tidak dapat dimasuki oleh anak-anak dari kalangan bawah. Akibatnya terjadi kesenjangan sosial di sekolah. Siswa yang belajar di program ini merasa seperti kelompok elit yang berbeda dengan siswa kelas reguler.
  10. Salah satu kritik terbesar dari masyarakat tentang SBI ini adalah bahwa program ini telah memberi legitimasi kepada sekolah untuk melakukan komersialisasi pendidikan. Pendidikan diperdagangkan justru oleh pemerintah yang seharusnya memberikan pelayanan pendidikan kepada rakyatnya secara gratis dan juga bermutu. Komersialisasi pendidikan ini adalah pengkhianatan terhadap tujuan pendirian bangsa dan negara. Saat ini sekolah-sekolah publik RSBI bahkan telah menjadi lebih swasta dari swasta dalam memungut biaya pada masyarakat. Hampir semua sekolah RSBI menarik dana dari masyarakat dengan biaya tinggi yang sebenarnya sungguh tidak layak mengingat mereka adalah sekolah publik yang semestinya dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah dan ‘haram’ sifatnya menjadi komersial. Saat ini biaya untuk masuk ke sekolah SMA RSBI mencapai Rp. 15.000.000,- untuk biaya masuknya dan Rp. 450.000,- untuk SPP-nya. (panduan Seminar Nasional SBI)
  11. Salah satu masalah yang muncul dari istilah ‘bertaraf internasional’ adalah kerancuan dan keganjilan. Sungguh ganjil jika sebuah UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) tiba-tiba memunculkan sebuah istilah ‘bertaraf internasional’ ! Mau dimasukkan ke mana dan dengan konstelasi bagaimana sebuah sistem pendidikan yang ‘bertaraf internasional’ dalam sebuah Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), apalagi dianggap sebagai standar tertinggi?  Coba bayangkan betapa ganjilnya sebuah UU tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang justru mengagung-agungkan kurikulum negara asing (OECD).
  12. Keganjilan dan ambigu lainnya adalah masalah evaluasi. Meski menyandang nama ‘bertaraf internasional’ tapi siswanya masih harus ikut ujian nasional. Alangkah ganjilnya jika sebuah sekolah yang bertaraf INTERNASIONAL tapi kemudian masih harus mengikuti sebuah UJIAN NASIONAL! Adalah tidak mungkin sekolah harus mempersiapkan siswa untuk mengikuti DUA SISTEM UJIAN yang berbeda (nasional dan internasional) karena itu SANGAT MEMBERATKAN guru dan siswa serta tidak bermanfaat. Selain itu dengan terburu-buru sekolah RSBI/SBI kita lantas mengadopsi sistem ujian Cambridge (CIE) bagi siswa-siswanya agar dapat disebut ‘bertaraf atau berstandar intenasional’ padahal kurikulum nasional kita tak ada hubungannya dengan sistem tersebut. Coba juga jawab apa sebenarnya urgensi dari ujian Cambridge pada siswa-siswa RSBI/SBI yang tidak ada hubungannya dengan sistem pendidikan nasional kita? Ujian Cambridge juga TIDAK dipersyaratkan bagi siswa yang hendak belajar ke luar negeri . Siswa-siswa kita yang hendka belajar ke luar negeri tidakpernah dipersyaratkan harus memiliki harus lulus ujian Cambridge sehingga mengikuti ujian Cambridge sebenarnya justru memberatkan siswa kita apalagi yang tidak ingin melanjutkan studinya ke luar negeri.
  13. Kesalahan konseptual (R)SBI adalah terutama pada penekanannya pada segala hal yang bersifat akademik dengan menafikan segala yang non-akademik. Semua keunggulan yang hendak dicapai oleh program SBI ini adalah keunggulan akademik semata dan tak ada lain. Seolah tujuan pendidikan adalah untuk menjadikan siswa untuk menjadi seseoarang yang cerdas akademik belaka. Tak ada dibicarakan tentang keunggulan di bidang Seni, Budaya, dan Olahraga. Padahal paradigma keunggulan akademik adalah pandangan yang sudah sangat kuno. Seolah ‘bertaraf internasional’ adalah keunggulan akademik padahal justru Seni, Budaya, dan Olahragalah yang akan lebih mampu mengantarkan kita untuk bersaing dan tampil di dunia internasional. Jika kita tanya pada hampir semua orang mengenai apa yang mereka ketahui tentang Negara Argentina maka jawaban yang kita dapatkan mayoritas menyatakan “Maradona.”! Dan Maradona bukanlah symbol tentang keunggulan akademik samasekali. Di negara lain pemerintah juga menyelenggarakan pendidikan khusus bagi anak-anak yang paling berbakat agar mereka dapat melesatkan potensi mereka tanpa bergantung pada siswa yang lambat. Ada beberapa sekolah publik untuk gifted students di Australia. Meski demikian pembiayaannya tidak dengan menarik iuran pada orang tua. Sekolah tersebut harus kreatif mencari dana untuk membiayai kegiatan-kegiatannya yang padat tersebut.
Satu hal lagi, mereka justru menonjolkan kehebatan kegiatan olahraganya dan bukan capaian akademiknya.
USULAN
  1. Karena interpretasi dari istilah ‘bertaraf internasional’ ternyata menimbulkan kerancuan, ambigu serta masalah-masalah yang mendasar dan serius di lapangan maka perlu adanya suatu REINTERPRETASI dan REFORMULASI dari rumusan sekolah bertaraf internasional yang ada selama ini. Usulan rumusan dasar tersebut adalah sbb :
    “Satuan Pendidikan yang bertaraf Internasional adalah sekolah yang dapat memberikan pelayanan pendidikan berkualitas tinggi kepada siswa-siswa yang memiliki potensi akademik dan non-akademik yang sangat menonjol sehingga siswa-siswa tersebut dapat memiliki bekal pengetahuan, ketrampilan dan sikap pribadi serta kompetensi dan prestasi akademik dan non-akademik yang menonjol dan memiliki kemampuan untuk berkolaborasi secara internasional.”
    Pelayanan pendidikan yang bertaraf internasional di sini mencakup 8 SNP dan ditambah dengan pelayanan pendidikan tambahan yang akan dapat memunculkan kompetensi terbaik dari siswa agar dapat memiliki daya saing internasional.
    Ada tiga komponen penting yang mencakup pengertian ‘bertaraf internasional’ di sini, yaitu :
    a.Pelayanan sekolah yang bermutu tinggi
    b.Input siswa yang memiliki potensi akademik dan non-akademik yang sangat menonjol
    c.Prestasi akademik dan non-akademik di bidang Seni, Budaya, dan Olahraga serta kemampuan untuk bekerjasama dan berkolaborasi secara internasional dengan lulusan dari mana pun.
    Interpretasi ini sesuai dengan amanah Undang-undang yang mewajibkan pemerintah untuk memberi pelayanan bagi anak berkebutuhan khusus. Anak-anak yang memiliki bakat menonjol perlu mendapat pelayanan pendidikan yang khusus pula. Rumusan ini akan memberikan keleluasaan bagi pemerintah dan sekolah untuk merumuskan keunggulan spesifik dari sekolah dalam memberikan pelayanan yang unggul dan sebaik-baiknya bagi siswa-siswa berbakat baik di bidang akademik maupun non-akademik.
  2. Dengan konsep seperti ini maka tidak diperlukan lagi segala macam aksesori dan kosmetik yang tidak perlu pada program ini agar berbau internasional seperti : Standar ISO, Ujian Cambridge, IBO, TOEFL, Sister School, Studi Banding ke luar negeri, kelas ber AC, menggunakan laptop dan proyektor, dll. Sekolah dapat memusatkan perhatiannya pada program-program dan proses pembelajaran yang benar-benar dapat merangsang siswa untuk mengembangkan potensinya secara optimal melalui program-program yang sudah diketahui efektifitasnya. Pendidikan harus benar-benar diarahkan pada proses dan bukan pada alat dan aksesori. India telah memberikan contoh bagaimana menyelenggarakan pendidikan berkualitas dunia dengan fasilitas dan sarpras yang sederhana.
  3. Dengan meninggalkan program yang tidak substantif seperti ujian Cambridge dan TOEFL maka kerancuan dan kritik tentang sistem pendidikan nasional yang ujiannya mengacu pada sistem lain di luar ujian nasional akan berhenti dengan sendirinya. Sekolah-sekolah publik hanya akan menyelenggarakan ujian yang diamanatkan oleh Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
  4. Dengan konsep yang sederhana, operasional dan terukur seperei ini maka kemungkinan keberhasilan dari program ini akan lebih besar, lebih terukur, dan lebih operasional yang kemudian akan dapat di adopsi oleh sekolah-sekolah lain. Dengan demikian program peningkatan kualitas sekolah ini dapat disebarluaskan ke sekolah-sekolah lain yang mau mengadopsinya. Ia akan dapat menjadi model pengembangan sekolah yang dapat diadopsi dan dikembangkan secara meluas dan tidak hanya berhenti pada sekolah SBI semata.
  5. Konsep SBI yang lama yang hanya menonjolkan kemampuan akademik siswa semata hendaknya direinterpretasikan ulang dan kemudian haruslah memberikan porsi yang sama besarnya kepada bakat menonjol siswa yang bersifat non-akademik seperti Seni, Budaya, dan Olahraga karena pada hakikatnya dalam kehidupan nyata bakat di bidang non-akademik dan kecerdasan-kecerdasan lain yang tercakup dalam multiple intellegencies justru sangat dibutuhkan dalam kehidupan mereka di dunia nyata kelak. Pengagungan kepada bakat akademik semata menunjukkan ketidakpahaman kita akan dimensi pendidikan itu sendiri yang memang tidaklah semata akademik. Pengembangan potensi akademik semata hanya akan menciptakan siswa yang cerdas akademik semata tapi tidak memiliki kecakapan lain yang justru dibutuhkannya dalam kehidupan nyata kelak.
  6. Karena sekolah ini adalah sekolah bagi anak-anak dengan bakat yang sangat menonjol maka tuntutan bagi siswanya juga lebih tinggi dibandingkan sekolah reguler. Hanya siswa-siswa yang memiliki bakat, minat, kemampuan, dan kemauan yang menonjol yang bisa mengikuti program ini. Beberapa contoh tuntutan akademik dan non-akademik yang harus dilakukan oleh siswa pada program ini adalah :
  7. a.Membaca dan menuliskan resensi buku (book discussion and book review) dalam jumlah tertentu, umpamanya tingkatan SD 10 buku, SMP 20 buku, dan SMA 30 buah buku. b.Memiliki kemampuan berbahasa Inggris pada semua ketrampilan (Speaking, reading, writing and listening) dan harus lulus uji kompetensi berbahasa Inggris yang standarnya akan ditetapkan oleh Kemdiknas c.Mengikuti kegiatan ekstra kurikuler dan community service yang lebih menonjol dibandingkan sekolah reguler dan dapat mewakili daerah masing-masing untuk kepentingan daerah. d.Memiliki tingkat disiplin dan dapat menjadi teladan bagi lingkungannya. e.Dst.
  8. Untuk itu semua bidang studi (kecuali bahasa asing) harus diajarkan dalam bahasa Indonesia yang baku dan standar untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menggunakan bahasa nasional tersebut. Janganlah lagi kita mengikuti kesalahan yang sama yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia yang telah pernah melakukan program PPSMI yang mewajibkan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar yang ahirnya justru menurrunkan mutu siswa dan sekolah pada bidang studi yang diajarkan dalam bahasa Inggris tersebut. Dengan dihapuskannya kewajiban menggunakna bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di kelas maka guru dapat kembali memfokuskan persiapannya pada proses pembelajaran yang efektif dan tidak perlu berjibaku menggunakan bahasa Inggris yang samasekali tidak dikuasainya tersebut. Kita tidak perlu mengikuti kesalahan yang sama telah dilakukan oleh pemerintah Malaysia.
  9. Untuk meningkatkan kompetensi siswa dalam menggunakan bahasa Inggris sebagai bekal untuk hidup di dunia global maka pelajaran bahasa Inggris mesti ditambah porsinya baik itu jumlah jam belajarnya mau pun efektifitas pembelajarannya. Pembelajarannya juga harus lebih variatif agar dapat mendukung berkembangnya kemampuan siswa dalam 4 ketrampilan berbahasa Inggris yang mencakup : Listening, speaking, Reading dan Writing. Berbagai program dapat sidusun untuk meningkatkan kompetensi siswa ini. Ada banyak program dari lembaga-lembaga internasional yang dapat diadopsi untuk mencapai tujuan ini.
  10. Untuk menghindari komersialisasi pendidikan maka semua biaya yang ditimbulkan oleh program ini harus ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah pusat dan daerah. Ini adalah program yang seharusnya menjadi program kebanggaan pemerintah pusat dan daerah sehingga pembiayaannya memang tidak membebani orang tua siswa. Anak-anak yang berbakat luar biasa sudah selayaknya mendapat bea siswa untuk menunjang perkembangan potensi mereka tersebut. Untuk mendapat tambahan biaya pendidikan maka pemerintah daerah dapat menggalang bantuan dari berbagai perusahaan yang ada di daerahnya melalu program CSR.
  11. Untuk menjamin keberhasilan program ‘sekolah berkeunggulan tinggi (school for the gifted and talented)’ ini maka semua guru harus memenuhi kriteria kompetensi yang ditetapkan dan sekolah yang ditetapkan harus melakukan upaya penjaminan kualitas SDM-nya. Untuk itu maka sebenarnya tidak diperlukan guru yang berkualifikasi S-2. Apalagi jika kualifikasi S2 yang dimiliki tidak memiliki korelasi dengan bidang studi yang diajarkan oleh guru tersebut. Saat ini para guru berlomba-lomba mengejar gelar S2 tanpa perduli apakah bidang studi yang ingin dicapainya itu sesuai atau linear dengan bidang studi yang diajarnya di sekolah. Dengan menghapus persyaratan kualifikasi S2 tapi mensyaratkan kompetensi profesional di bidang studi yang diajarkannya (on the job performance) maka kualitas pembelajaran di kelas akan dapat tercapai.
Tabik dan sampai disini dulu. Kalau nanti ada ide lagi baru saya tulis lagi.
Salam
Satria Dharma
Jakarta, 30 Oktober 2010

DRAFT REPORT OF SCHOOL PRINCIPAL

A. GENERAL CONDITION

1. HIV AND AIDS EPIDEMIC, DRUGS AND SEXUALITY

HIV and AIDS in Papua province have been included as a generalized epidemic with prevalence of 2.4% (IBBS, 2006), override the largest population of productive age (15 – 49 years old) and 30% of it is young people between 15- 24 years old. The high population of sex workers, drug users, free-sex, highly influence the prevalence rate of HIV and AIDS, and this makes everyone in Papua (parents, children, children of school age, adolescence, and youth) is at high risk of HIV infection and AIDS.
Also, other factors that affecting the increase prevalence of HIV-AIDS are education factor, cultural, low economic, sexual deviation, low health, alcohol and alcohol, VCT services are not maximized and high population mobility.

2. STHP Data – 2006, prevalence of HIB and AIDs among young people in Papua :

* From 4.967 cases, the 54 % ( 968 cases ) is the productive age (15 – 30 years old).
* From 4305 HIV and AIDs cases on September 2008, 97 % of transmissions is through free sex.
* In age group 15 to 24 years old the HIV and AIDS prevalence shows that boys are higher than girls.
* According to IBBS - 2006, there is a gender gap exists between men and women in HIV prevalence (Male 2,9 %; Female 1,9 %).
* STHP-2006 shows that the prevalence rate of HIV and AIDS is caused by the largest first sexual relations, elementary and secondary school 3.3%, 2.3% performed at the age of 15-24 years (middle school age and university), and only 1, 9% at the age of 25 years and over.
* The Increase of number of HIV and AIDS prevalence among young people and students is a phenomenon that must be overcome to suppress the epidemic, today the number consists of 2251 people
* This case shows that teenagers in schools are very vulnerable to various disorders that can lead to children dropping out of school. Unhealthy behavior such as drug abuse, lack of knowledge about reproductive health that leads to sex, can increase the prevalence of HIV and AIDS.


3. The appropriate positive KIE impacts for students

Another survey showed that people, especially most of the students from elementary, junior high, high school and college, do not receive information about HIV and AIDS from the media /other people and not from teachers.

Information and education which will be undertaken through schools are very effective to increase students' knowledge in schools about HIV and AIDS, Drugs, and early Sexuality

The more higher the education level of the students is, the more greater number of them who heard information about HIV and AIDS, Drugs and sexuality.


B. STRATEGIC ROLES OF SCHOOL PRINCIPALS

School principal is a key position and his impact is very significant in improving the quality of school management. Besides as a leader, the roles of school principals which are not less important is also as educator, administrator, supervisor, marketer, and negotiator.

Based on the roles and functions as the principal mentioned above, a major task in relation to the prevention of HIV and AIDS, Drugs, and sexuality, including:

* Develop a work plan and implementation of programs to mainstream HIV and AIDS, Drugs and Sexuality in schools and outside schools
* Ability to empower the effectiveness KKG, MGMP in developing teaching material and learning media, and disseminate information about healthy living behaviors
* Re-empowering the role of health school unit ( UKS ) at schools to support the implementation of healthy school
* Able to create and support the implementation of the program "School Culture" about stopping HIV and AIDS, Drugs and Sexuality in and outside of schools.
* Able to build internal and external networks to gain support for the school committee, parents and the community and relevants stakeholders
* Being the initiator and major sponsor of the organization of material preparation KTSP subject of HIV and AIDS prevention, Drugs and Sexuality
* Optimizing the role of teacher guidance counseling and other subjects in the response to overcoming HIV and AIDS, Drugs and sexuality


According to interviews with several principals and teachers, data and information shown as follows:

* In general, the principal had followed socialization of HIV and AIDS prevention, Drugs and Sexuality organized by the Department of Education, Youth and Sports of Papua Province and other organizations such as UNICEF, World Vision and etc.
* Principal is expected to be the main sponsor of the dissemination of information about HIV and AIDS, Drugs and Sexuality for teachers, students, school committees, parents and other citizens of schools
* The model of learning approaching about HIV and AIDS, drugs and sexuality is very effective , if given through life skill education interestingly and democratically.
* Peer education, student clubs, painting competition, wall magazine, drama, poetry and Papua MOP (jokes) are an effective vehicle for knowledge transformation and skills to support the success of education and prevention of HIV and AIDS, Drugs and Sexuality
* Based on the results of the agreement between the central chief of Department of National Education and Department of Education, Youth and Sport of Papua province and the chief of UNICEF in Jakarta, a model approach to HIV prevention education and AIDS, Drugs and Sexuality, will be done through 3 model approaches, namely the integration of curriculum, local-content curriculum, and self-development


C. THE BEST EXPERIENCES OF PAPUA

Road map mainstreaming HIV and AIDS, Drugs and sexuality in Papua have gained a positive supports from :

1. The Head of Reseach and Development and the Head of National Education Curriculum
2. Center in Jakarta
3. The Governor of Papua province
4. The Head of UNICEF Jakarta
5. The Head of UNICEF Papua and West Papua
6. The chairman of the national KPA and KPA of Papua province
7. The Leaders of private educational foundations based on religion
8. The Leaders of other government agencies in Papua province such as
9. BKKBN, Office of Empowerment of Women, Social Welfare Department, Department of Labor and etc.


Achievements of implementation of HIV and AIDS prevention programs, Drugs and Sexuality, through the education sector are as follows:

1. HIV and AIDS became one of the Strategic Plan missions of Department Education, Youth and Sports of Papua Province
2. Governor Regulation (PERGUB) of Papua Province about Development of unit-level education curriculum ( KTSP) and Education prevention of HIV and AIDS Prevention, Drugs and Sexuality
3. General instructions (guidelines) are provided in implementation of HIV and AIDS Education, Drugs and Sexuality of Papua Province for Department of Education in District / City and schools
4. Technical instructions (guidelines) are provided in Development of unit-level education curriculum (KTSP) and Education prevention of HIV and AIDS Prevention, Drugs and Sexuality
5. Development team of learning materials has been created for HIV and AIDS, Drugs, Sexuality through curriculum integration patterns, local-content curriculum, and self-development and formal or non formal education
6. Action Plan mainstreaming HIV and AIDS, Drugs and sexuality supported by UNICEF is composed through Education sector 2010 to 2013
7. Master Trainers (facilitators) is supported by UNICEF and Department Education in Provincial and District level are available for HIV and AIDS prevention education, Drugs and Sexuality-based on Life Skills Education (LSE), at the provincial level as many as 9 people, while 35 people for districts or cities.
8. Periodically, Department of Education in District / City, organizes art contests, including paintings, speeches, poetry readings, drama of HIV and AIDS Drugs and Sexuality for students
9. Regular meeting of Peer Education at the provincial and district / city sponsored by UNICEF and Department Education, Youth and Sports of Papua Province
10. There are average 6 Master Trainers of peer educator based on Life Skills Education are available in four districts / main cities: Biak, Mimika, Jayapura and Jayawijaya
11. The number of Peer Educators currently are more than 1000 people in Tanah Papua
12. Indonesian teachers association ( PGRI )is very active to advocate and influence teachers to prevent HIV and AIDS, drugs and sexuality trough elementary schools, junior high schools until senior schools whether vocational schools or non-formal education. Also, PGRI is working together with International Teachers Organisation


D. PLANS AND PROGRAMS MAINSTRAMING PREVENTION OF HIV AND AIDS, DRUGS, SEXUALITY THROUGH EDUCATION SECTOR IN 2010, COOPERATION BETWEEN DEPARTMENT OF EDUCATION AND UNICEF INDONESIA / PAPUA

Mainstreaming action plan of HIV and AIDS, Drugs and Sexuality Education Cooperation between Department of Education, Youth and Sport of Papua province with UNICEF, is as follows:

* Finalization of Governors Regulation (PERGUB) of Papua Province about Development of unit-level education curriculum and prevention education of HIV and AIDS, Drugs and Sexuality.
* Finalisation of General Guidelines draft and the Technical Guidelines ( JUKNIS ) mainstreaming of HIV and AIDS Education, Drugs and Sexuality
* Development of HIV and AIDS learning material through integration patterns of learning strategies, local content curriculum and self-development based on life skills education.
* To improve the quality of master trainers and facilitators of life skill education both in province and districts / cities
* To improve the number of trainers through TOT life skill education based on prevention of HIV and AIDS, Drugs and Sexuality
* To Improve the effectiveness of partnerships with other stakeholders in accelerating HIV and AIDS prevention, drugs and sexuality through education sectors
* To develop prevention program of HIV and AIDS, Drugs and Sexuality for youth through sports activities in cooperation with soccer academy.
* To improve the competence of school principals in managing prevention education of HIV and AIDS, Drugs, and Sexuality at school environment
* To improve the competence of educators and educational staff in mastery educational learning material of HIV and AIDS, Drugs and Sexuality
* To increase participation of school committees, school communities and other educational stake holders to support the implementation of HIV and AIDS prevention education, Drugs and Sexuality

Mainstreaming HIV and AIDS, Drugs and sexuality in Papua province will be pursued through 5 pillars of education development

A. Education for All
B. Education Development
C. Training Educators and Educational staff
D. Partnership and Advocacy
E. Policy and Management System

Sabtu, 27 November 2010

Adam Khoo

From Wikipedia, the free encyclopedia
Adam Khoo

Adam Khoo at home
Born Adam Khoo Yean Ann
April 8, 1974 (1974-04-08) (age 36)
Singapore
Education Bachelor of Business Administration (Honors) (1998)
Licensed Master Practitioner and Trainer in Neuro-Linguistic Programming (1997)
Alma mater Ping Yi Secondary School
(1987–1990)
Victoria Junior College
(1991–1992)
National University of Singapore (1995–1998)
Occupation Founder, Master Trainer, Director, Author, Entrepreneur
Spouse Sally Khoo-Ong (2000–present) «start: (2000)»"Marriage: Sally Khoo-Ong to Adam Khoo" Location: (linkback:http://en.wikipedia.org/wiki/Adam_Khoo)
Children Kelly Khoo (b. 2004)
Samantha Khoo (b. 2005)
Parents Vince Khoo (1944–present)
Betty L. Khoo-Kingsley
(1945–present)
Adam Khoo Yean Ann (born April 8, 1974) is a Singaporean entrepreneur, best-selling author and peak performance trainer. A self-made millionaire by the age of 26, he is one of the youngest millionaires in Singapore,[1] and owns and runs several businesses in education, training, event management and advertising, all with a combined annual turnover of S$30 million.
Khoo is the Executive Chairman and Chief Master Trainer of Adam Khoo Learning Technologies Group Pte Ltd and Director of seven other private companies. Khoo was also a director of the Singapore Health Promotion Board (HPB) 2009-2010. He is currently a member of the Singapore Chapter of the Young President's Organization (YPO),[2][3] whose membership is only available to business owners below 50 years of age, who run businesses with minimum annual turnover of US$9 million. Khoo was also conferred the NUS Business School Eminent Business Alumni Award 2008 for being one of Singapore's most successful and prominent business leaders.

Career

Books authored

Adam Khoo is the best-selling author of ten books including I Am Gifted, So Are You! (first published by Oxford University Press, ISBN 978-9812324276).[4] His second and third books are How to Multiply Your Child's Intelligence (Pearson Education, ISBN 978-0131013551) and Clueless in Starting a Business (Pearson Education, ISBN 978-9812445070).
Khoo's fourth book was Master Your Mind, Design Your Destiny (Adam Khoo Learning Technologies Group, ISBN 978-9810508562). His fifth and sixth books were Secrets of Self-Made Millionaires (Adam Khoo Learning Technologies Group, ISBN 978-9810552848) and Secrets of Millionaire Investors (Adam Khoo Learning Technologies Group, ISBN 978-9810581954). His seventh book was Nurturing the Winner & Genius in Your Child (Adam Khoo Learning Technologies Group, ISBN 978-9810596835) and his eight book, Secrets of Building Multi-Million Dollar Businesses (Adam Khoo Learning Technologies Group, ISBN 978-9810814786) was launched in October 2008. His ninth book was titled Profit from the Panic (Adam Khoo Learning Technologies Group, ISBN 978-9810820879).

Background and education

Childhood

Khoo was expelled from St Stephen's Primary School[3] at the age of eight for misbehavior, partly due to poor academic results.[5] His parents hunted for a primary school willing to accept him and finally found Ngee Ann Primary School.[3] Due to his poor results at the Primary School Leaving Examination (PSLE), he did not qualify to enter any of the six secondary schools his parents had chosen.[5] Eventually he went to a government school Ping Yi Secondary, where he passed only five out of eight subjects[5] and finished 156th out of 160 Secondary 1 Express Stream students.[1][3]
Khoo's parents and teachers described him back then as capable but lazy, indifferent and addicted to television.[3][6] He described himself as being totally uninterested in learning (he was frustrated as he felt he could not learn),[6] extremely unmotivated,[7] physically weak and mentally lethargic.[5] His stepsister was an A-student in the Gifted Education Programme at Raffles Girls' Secondary[3] while cousins from his close-knit extended family were from the best schools in Singapore.[5] He had very poor social skills,[5] did not enjoy reading anything but comics[7] and was addicted to arcade games and moronic TV programs.[5] He tried to join the Scout Movement, but was thrown out six months later for not passing the basic qualifying test, the 'Scout Standard', as he did not bother to try.[5]

Turning point in education

In 1987, when Khoo was 13, his parents enrolled their "under-achiever" son for a five-day residential program at Ladyhill Hotel called Super-Teen Camp.[1][3][4] The man responsible for spotting Khoo's "gifted talent" in Super-Teen was Dr. Ernest Wong, Founder, Principal Consultant and Master Teacher of Ernesco, the Centre for Motivational Language Learning based in Kuala Lumpur, Malaysia[4] (the Super-Teen Camp is now under Learning Mastery Pte. Ltd.) Dr. Wong's teaching tools incorporated and adapted an American-developed learning technology called Neuro-Linguistic Programming (NLP), as well as Whole-Brain Learning.[4] This was the beginning of Adam Khoo's interest and journey in mastering motivational techniques,[4] which formed the foundation of many of his best-selling books and seminars.
Within three months of the program, Khoo climbed to among the top 18 in his secondary school.[4] He went on to rank among the top 10 in Ping Yi Secondary within a year,[5] topped his school in the GCE 'O' Level examinations with the lowest scoring aggregate, and was the first in Ping Yi Secondary to qualify for the then-top junior college in Singapore, Victoria Junior College.[1][4][5] At Victoria Junior College, he was President of the Economics Society[6] and scored three 'As' for his GCE 'A' Level examinations.[4][6] He entered the Business Administration faculty at the National University of Singapore (NUS) and continued his notable academic achievements by making it to the Dean's List every year[1] since his first year,[6] ranked among the top 1 percent of academic achievers[5] and became a pioneer in the university's Talent Development Programme (TDP), the tertiary equivalent of the Gifted Education Programme for secondary schools.[1] He holds an honors degree in Business Administration from NUS.

Millionaire in the making

At age 15, Khoo was devouring books on "how to make money" like Donald Trump's business books and Warren Buffett's books on investment techniques.[7] While still in secondary school, he formed a mobile disco company with his friends, using his grandmother's house to re-create a disco and charged teenagers who attended a fee. He even took over the job of the deejay that he hired, after studying him.[3] At 16, he began investing most of his time and money to read and undergo training sessions in NLP[4] in the United States. At 17, he became a freelance motivational trainer by visiting schools in Singapore, making the bold proposition of turning the worst students around for no charge in the beginning. Eventually, he started charging S$25 per student for half a day's training.[7]
After completing National Service in the Republic of Singapore Air Force at age 21, Khoo went into partnership with three NUS friends and registered an event management company, Creatsoul Entertainment.[6] The company organized hops, jams and other entertainment activities[3] for clients like individuals, companies and organizations at NUS and Nanyang Technological University (NTU).[6] This was later re-registered as Event Gurus Pte Ltd, an event management company. Today Event Gurus runs major events like The New Paper Big Walk and the President's Charity Challenge's Project Y.[3]
At 23, Khoo obtained his license in NLP in Seattle, Washington.[4] At 24, he became a trainer at SuperTeen,[1] conducting courses for organizations like the Chinese Development Assistance Council (CDAC), Association of Muslim Professionals (AMP), Nanyang Girls' High School and the Universitas Pelita Harapan (UPH) in Jakarta.[6] At 25, Khoo was coaching top insurance agents and marketing managers twice his age on how to boost sales.[1] At this time, his father, Vince Khoo, who owned advertising agency Adcom, bought out all partners and offered the younger Khoo the opportunity to run it.[1] Within three months, he turned it around from making losses in 1998–1999 to clinching a pitching rate of 80 percent[1] with the first monthly profit, and went on to increase margins by 30%.[8] Their clients have included AIA, Dumex, Mobil (lost during the Exxon merger), Phillip Wain slimming centers, Sobe Fresh Soya Milk, Tabasco, Heinz, Sinsin, Night Safari, Singapore and MobileOne (M1).[1][9]
At 26, Khoo earned his first million, from giving motivational training at schools and companies (the most lucrative, earning him up to S$1000 an hour), his entertainment company and shrewd investments in equities, unit trusts and property.[3]

Portfolio

Investments

Khoo's first taste of investing came from his grandfather,[7] who would give him Lunar New Year red packets with Malaysian share lots like Genting, Kuantan Flour Mill and HICOM.[10] Inspired by Warren Buffett's book Buffettology, he started dabbling in shares in the army.
A conservative and long-term investor,[10] Khoo goes for investments with very low risk and high returns,[7] favoring cash-rich companies with low debts and the potential to consistently increase their earnings.[10] He prefers investing in stocks and options, using a variety of investing strategies including momentum and value investing.[7]

Property

Khoo's portfolio consists of property that he rents out, private businesses, Singapore stocks, US stocks and exchange-traded funds (ETFs), generating an average return of over 20 percent per annum.[10] In 1998, he bought a 1,300 sq ft (120 m2) condominium in East Coast for S$480,000 and rented it out for about S$3,000. He sold it for S$650,000 in 2004. In early 2008, he bought a 900 sq ft (84 m2) condo at Robertson Quay for S$1.3 million, renting it out at S$4,000.[10]

Businesses

Khoo does not believe in taking on consumer debt and prefers starting businesses with zero capital, paying freelance fees or stocks in the beginning until profit is generated.[7]

In the media

Khoo's success and achievements have been featured in regional media like The Straits Times, The Business Times (Singapore), The New Paper, Lianhe Wanbao, Channel NewsAsia (CNA), MediaCorp Channel U and Channel 8, MediaCorp 938LIVE (formerly NewsRadio 938) and Capital 95.8FM, The Hindu, The Star and The Sun Malaysian newspapers, The Executive Magazine, Asian Business the Magazine for Entrepreneurs, Prestige, Her World Magazine, Calibre Magazine and many more. In 2007, he was ranked among the top 25 richest Singaporeans under the age of 40 by The Executive Magazine.

Pembuktian teorema pythagoras

Teorema pythagoras boleh dibilang adalah teorema paling terkenal di matematika, kalo gak salah kita sudah mempelajari theorema tersebut sejak SMP (cmiiw). Pada tahun 572 sebelum masehi Pythagoras berkata bahwa jumlah kuadrat kedua sisi siku-siku pada segitiga siku-siku sama dengan panjang kuadrat sisi miringnya. Konon 1000 tahun sebelum Pytagiras lahir  bangsa babylonia telah menyadari hubungan antara sisi siku-siku dengan sisi miringnya pada segitiga siku-siku, tapi pythagoraslah yang pertamakali menyatakan hubungan tersebut dalam persamaan matematika.
Sebenarnya ada 79 cara untuk membuktikan teorema pytagoras. Tapi saya akan menggunakan cara pembuktian yang paling terkenal, pembuktian oleh astronom India Bhaskara (1114-1185).
Langkah pertama buat 4 buah segitiga siku-siku yang sama
Lalu susun menjadi bentuk dibawah ini
bujur sangkar dengan panjang sisi b+a
Perhatikan daerah diasir kuning, sebuah belah ketupat dengan panjang sisi C

maka kita tau bahwa luas belahketupat ditambah luas 4 segitiga siku-siku sama denagn luas bujur sangkar
C^2+4 \frac{AB}{2} = (A+B)^2
C^2+2AB=A^2+2AB+B^2
C^2=A^2+B^2
Viola, we got pythagoras theorem

Jumat, 26 November 2010

PGRI Desak UN dan R/SBI Dihentikan

  • Pendidikan Berlangsung Tanpa Arah
JAKARTA  - Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia mendesak agar ujian nasional (UN) dihentikan. Sebab, UN gagal meningkatkan mutu pendidikan.

’’Oleh karena itu, PGRI juga menuntut pemerintah menghentikan kebijakan UN mulai 2011 dan menggantikannya dengan model ujian yang sesuai dengan perundang-undangan,’’ kata Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Sulistyo dalam siaran persnya, Kamis (25/11).

Selain gagal meningkatkan mutu pendidikan, UN juga gagal membangkitkan semangat belajar. ’’Sebaliknya, UN berdampak buruk memperkuat nilai-nilai koruptif pada jiwa anak, menghancurkan citra guru, dan lembaga pendidikan,’’ tegasnya
Dalam siaran pers menyambut Ulang Tahun PGRI Ke-65 dan peringatan Hari Guru Nasional, PGRI juga mendesak agar pemerintah menghapus gagasan dan kebijakan terkait dengan Rintisan/Sekolah Bertaraf International (R/SBI) serta World Class University (WCU).

’’R/SBI dan WCU berdampak pada pengabaian kepentingan bangsa dan komersialisasi pendidikan,’’ ujarnya.
Ilegal PGRI juga mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan peraturan pemerintah (PP) sebagai implementasi dari UU No 20/2003. ’’Sebab, baru tiga dari puluhan PP yang seharusnya terbit sebagai amanat Undang-undang Sisdiknas, sehingga secara praktis pendidikan berlangsung ilegal,’’ ungkapnya.

PGRI juga menilai, sejauh ini proses pendidikan belum mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi pencerdasan bangsa.Sebab, desain pendidikan nasional masih saja meneruskan apa yang dirancang oleh pemerintah Kolonial Belanda dalam kerangka politik etis.

’’Oleh karena itu, pendidikan kita tetap menunjukkan ciri-ciri yang diskriminatif, menghasilkan tenaga kerja murah, dan menjadi pegawai sipil pribumi (PNS),’’ tuturnya.

Dia menambahkan, pendidikan nasional belum disusun sebagai upaya membangun mindset dan mentalitas bangsa merdeka yang bertanggung jawab terhadap diri dan lingkungannya. Ketiadaan visi tersebut telah menjadikan operasi pendidikan nasional berlangsung tanpa arah dan tidak lebih dari kegiatan pemberantasan buta huruf belaka.

’’Program pendidikan bukan dijadikan agenda dalam strategi pembangunan ekonomi dan kebudayaan bangsa. PGRI berkeyakinan, langkah perbaikan dan penyelamatan bangsa ke depan sangat tergantung pada kesediaan pemerintah untuk menomorsatukan pendidikan dan memuliakan guru,’’ ujarnya.

Dia menambahkan, tanpa bersungguh-sungguh menangani hal itu, maka akselerasi kemajuan bangsa yang mantap tidak akan terjadi. Sehubungan dengan hal itu, PGRI mendesak agar pemerintah bersungguh-sungguh memuliakan guru melalui penerapan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

’’Hal itu harus disertai dengan pengutamaan peningkatan kompetensi dan remunerasinya. Sebab, kualitas pendidikan ditentukan oleh kualitas guru,’’ tegasnya. (H28-37)

Kamis, 25 November 2010

Cinta anak secara proporsional


Betapa senang dan bersyukurnya Ibrahim AS ketika Allah mengaruniai seorang anak saat dirinya berusia 70 tahun. Ketika anak itu telah menunjukkan tanda-tanda kedewasaannya, terasa membanggakan dan memperlihatkan kemandiriannya, Ibrahim mendapat perintah agar menyembelih anak tercinta satu-satunya itu. Peristiwa dramatis itu kemudian direkam dalam Alquran (QS Al-Shaffat: 102).

Tetapi, ketika upacara penyembelihan berlangsung, Allah menggantikannya dengan seekor domba gemuk.

Peristiwa ini merupakan ajaran yang sangat revolusioner sepanjang sejarah manusia.



Ibrahim AS berhasil mengembalikan hakikat dan esensi kurban kepada asalnya. Kemuliaan dan kesabaran Ibrahim dalam menghadapi ujian itu kemudian menjadi ibadah yang diajarkan Nabi Muhammad SAW melalui ritual haji sebagai rekonstruksi perjalanan Ibrahim AS.

Di antara pesan yang sangat penting dari kisah itu adalah peringatan Allah agar kita tidak memberhalakan dunia yang termanifestasi terutama dalam bentuk cinta kepada anak sehingga melupakan cinta kepada Tuhan dan sesama manusia. Memang salah satu kecenderungan dasar manusia adalah cinta kepada lawan jenis, membanggakan anak, harta, perhiasan, sawah, kendaraan dan kesenangan duniawi lainnya (QS Ali Imron: 14).

Teramat mudah dijumpai betapa orangtua rela bekerja keras, membanting tulang, mengumpulkan uang demi kebahagiaan anak mereka. Karena cinta kepada anak pula, kadang-kadang orangtua kehilangan akal sehat dan lepas kontrol moralnya sehingga tidak segan-segan melakukan korupsi karena didorong oleh keinginan untuk memenuhi kebutuhan ekonomis keluarga.

Melalui kisah Ibrahim AS, kita diperingatkan oleh Allah agar kecintaan pada dunia tidak mengalahkan atau bahkan melupakan cinta kepada Allah. Janganlah kecintaan pada anak menjadi berhala yang bersemayam di hati dan pikiran sehingga menutup nurani untuk melihat kebenaran dan lebih jauh lagi jangan sampai lupa bahwa anak adalah amanat yang harus disyukuri dan dipertanggungjawabkan.

Kecintaan orangtua kepada anak bisa tidak murni karena terbajak oleh proyeksi egonya, yang terarahkan tidak hanya kepada anak tetapi juga kepada materi, jabatan, popularitas dan kemegahan. Egoisme destruktif inilah yang seharusnya disembelih yang antara lain disimbolkan melalui menyembelih seekor binatang.

Penyembelihan kurban merupakan perlambang bahwa kita pada hakikatnya menyembelih sifat-sifat kebinatangan. Seperti sikap egois, mementingkan diri sendiri, suka merusak, tamak, memprovokasi, tidak pernah puas, mau menang sendiri dan menindas orang yang lemah. Itu semua adalah sifat dan sikap yang harus dibuang jauh, untuk selanjutnya digantikan dengan sifat dan sikap mulia: suka menolong, santun, sederhana, terbuka, mengutamakan kemaslahatan bersama, mau menerima kritik dan rendah hati.

Setiap orang yang berkurban menyerahkan kambing atau sapi. Bagi orang yang berkurban, penyembelihan itu merupakan simbol ketaatan dan ketulusan serta pengabdian kepada Allah, dengan disertai rasa tidak memutlakkan kepemilikan harta dan anak. Sementara secara sosial, manfaat daging kurban bisa dinikmati oleh anggota masyarakat di sekitarnya sebagai bentuk solidaritas kepada sesama manusia (QS Al-Hajj: 26).

Rangkaian ibadah kurban lebih tepat dipahami sebagai medium yang diciptakan Allah untuk memberi pelajaran kepada umat manusia secara universal mengenai makna hidup dan kehidupan, agar rasa kepemilikan dan kecintaan kepada pangkat, kedudukan, harta dan anak berada pada batas proporsinya.

20 Ciri Anak Anda Tergolong "Underachiever"

Rabu, 24 November 2010 | 15:13 WIB
CK
ILUSTRASI: Anak yang underachieve atau underachiever kemungkinan adalah anak yang kreatif, sangat verbal dan berkemampuan matematis yang sangat tinggi.

KOMPAS.com — Menurut dr Sylvia Rimm, Profesor di Case Western Reserve University School of Medicine, Amerika Serikat, anak dengan keterbelakangan atau underachiever kemungkinan adalah anak yang kreatif, sangat verbal, dan memiliki kemampuan matematis yang sangat tinggi. Meskipun begitu, dengan bakat yang dia dimiliki, anak yang tergolong underachiever tidak sesukses anak-anak lain di sekolahnya.
Rimm, psikolog dan penulis buku laris See Jane Win itu, mengatakan bahwa underachievement dapat didefinisikan sebagai ketidakmampuan atau kegagalan untuk menampilkan tingkah laku atau prestasi sesuai usia atau bakat yang dimiliki anak. Menurut Rimm, dengan kata lain, potensi si anak tidak terpenuhi (unfulfilled potentials).
Memperkuat pandangan Rimm, menurut Montgomery seperti dalam jurnal Westminster Institute of Education, seorang anak dapat dikatakan underfunctioning bila memiliki lima dari indikator yang ada di bawah ini, yaitu:
1. Adanya pola yang tidak konsisten pada pencapaian dalam tugas-tugas sekolah
2. Adanya pola yang tidak konsisten pada pencapaian pada mata pelajaran tertentu
3. Adanya ketidakcocokan antara kemampuan dan pencapaian karena kemampuan yang dimiliki ternyata lebih tinggi
4. Konsentrasi yang kurang
5. Suka melamun atau mengkhayal di dalam kelas
6. Terlalu banyak melawak di dalam kelas
7. Selalu mempunyai strategi untuk menghindari pengerjaan tugas sekolah
8. Kemampuan belajar yang rendah
9. Kebiasaan belajar yang tidak baik
10. Sering menghindar dan tidak menyelesaikan tugas-tugas sekolah
11. Menolak untuk menuliskan apa pun
12. Terlalu banyak aktivitas dan gelisah atau tidak bisa diam
13. Terlalu kasar dan agresif atau terlalu submisif dan kaku dalam bergaul
14. Adanya ketidakmampuan untuk membentuk dan mempertahankan hubungan sosial dengan teman sebaya
15. Adanya ketidakmampuan untuk menghadapi kegagalan
16. Adanya ketakutan dan menghindar dari kesuksesan
17. Kurang mampu untuk menggali pengetahuan yang dalam tentang diri dan orang lain
18. Kemampuan berbahasa yang rendah
19. Terus berbicara dan selalu menghindar untuk mengerjakan sesuatu
20. Merupakan bagian dari kelompok minoritas

Sumber: www.episentrum.com  & www.wholefamily.com