Sabtu, 06 November 2010

Woro - woro untuk siswa kelas SMP Negeri 3 Kebumen

Hari ini Sabtu, 6 Nopember 2010 terpaksa semua siswa bvelajar di rumah, karena masih banyaknya bertaburan debu vulkanik yang berasal dari letusan gunung Merapi, demikian harap maklum

TERDAHSYAT DALAM SEABAD

Berita Utama (Suara Merdeka) 06 Nopember 2010

  • 73 Orang Meninggal, Puluhan Luka Bakar : Radius Bahaya Jadi 20 Kilometer
image
Puluhan ribu pengungsi Gunung Merapi memenuhi Stadion Maguwoharjo, Sleman, Jumat (5/11). Mereka dievakuasi dari Kecamatan Pakem, Turi, dan Cangkringan (kiri). Asap tebal membubung tinggi dari puncak Merapi, terlihat dari Mako Relawan Tuk Pitu, Pakem Sleman, Jumat (5/11) pukul 12.33. (30)
SLEMAN - Amukan Merapi memuncak. Letusan hebat yang terjadi Jumat (5/11) dini hari mengakibatkan 73 orang meninggal dan puluhan lainnya mengalami luka bakar. Letusan itu merupakan yang terdahsyat dalam seabad terakhir.

Awan panas yang menerjang selepas tengah malam itu meluluhlantakkan sejumlah dusun di Desa Argomulyo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Sebanyak 69 warga tewas dan 71 lainnya luka bakar. Mereka kini dirawat di RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta.

Di Klaten, awan panas menewaskan empat warga dan melukai 29 orang lainnya. Mereka dirawat di RSUP Dr Soeradji Tirtonegoro. Jumlah korban kemungkinan bertambah karena ada sejumlah dusun yang belum bisa dijangkau tim evakuasi.

Letusan itu juga membuat jumlah pengungsi membengkak hingga lebih dari 150.000 orang. Bahkan belasan desa di Kecamatan Srumbung dan Dukun, Kabupaten Magelang, menjadi desa mati karena sudah dikosongkan sama sekali.

Kepanikan luar biasa juga melanda ribuan pengungsi di Klaten dan Boyolali. Mereka pindah dari barak-barak pengungsian ke tempat aman. Radius bahaya kini meluas dari 15 km menjadi 20 km dari puncak Merapi.
Sebagian besar dari 69 korban tewas di Sleman ditemukan di Dusun Bronggang dan Jonggrang, Desa Argomulyo.

Jenazah rata-rata sulit dikenali karena seluruh tubuhnya terbakar, bahkan tak sedikit yang organ tubuhnya hilang. Berdasarkan identifikasi di RSUP Dr Sardjito, mereka terdiri atas atas 32 laki-laki, 27 perempuan, dan 10 anak-anak. Dari jumlah itu, 37 jenazah telah dikenali.

Belasan mayat ditemukan di beberapa rumah penduduk yang hancur ataupun rusak terbakar. Ada pula yang tergeletak di jalan. Beberapa mayat ditemukan masih panas dan menguap. Hewan-hewan ternak juga mati.
Menurut keterangan beberapa warga yang tinggal di dusun lain, kebanyakan korban adalah orang-orang tua yang menolak mengungsi. Sebelum terjadi letusan, mereka diajak turun ke tempat aman, namun enggan meninggalkan rumahnya.

Menurut salah satu warga yang selamat, Haryanto (42), warga Karanglo, Argomulyo, Cangkringan, sebagian besar korban adalah warga yang tinggal di sepanjang Kali Gendhol. Begitu terjadi letusan, awan panas dan lahar panas turun sangat cepat melalui sungai tersebut.

Malam sebelum musibah itu, di rumah seorang warga bernama Yu Kirti digelar yasinan yang dihadiri puluhan orang. ’’Usai yasinan, saya bersama adik saya langsung pulang,’’ ujar Haryanto.

Sebagian warga lainnya juga langsung pulang, tetapi ada pula yang nongkrong di rumah Kirti sambil menunggui hewan korban yang disimpan di halaman. Tiba-tiba sekitar pukul 00.34 muncul semburan awan panas yang dibarengi suara gemuruh dari arah puncak Merapi. Awan panas itu menyapu seisi dusun, termasuk orang-orang yang berada di rumah Kirti. ’’Di halaman depan saja ditemukan sembilan orang tewas, sedangkan di dalam rumah Yu Kirti ditemukan lima orang,’’ kata Haryanto.

Kondisi jenazah yang dievakuasi sangat memilukan. Bahkan ada jenazah yang ditemukan saling berpelukan dengan anaknya. ’’Ada dua atau tiga jenazah yang ditemukan berpelukan dengan anaknya,’’ kata salah seorang relawan. 

Menurut keterangan lainnya, wedhus gembel besar keluar saat banyak warga Argomulyo tertidur lelap. Saksi mata yang juga Kasi Pelayanan Umum Kecamatan Cangkringan, Hermanto mengungkapkan, ketika terjadi awan panas dan banjir lahar, warga sedang tidur.

Mereka tiba-tiba dikejutkan dengan suara menggemuruh dari Kali Gendol. Sungai tak mampu lagi menahan material hingga meluap dan sampai ke rumah-rumah penduduk hingga menewaskan banyak orang.
Berdasarkan pantauan Suara Merdeka dan laporan tim SAR serta relawan, jumlah korban masih bisa bertambah karena banyak rumah yang hancur dan hangus terbakar.Relawan dan tim SAR belum bisa masuk ke sejumlah desa karena udara masih sangat panas. ’’Selain itu, beberapa lokasi masih tertimbun lahar panas, khususnya di Dusun Bronggang,’’ kata dr Rizal, anggota tim forensik RSUP Dr Sardjito.

Gemuruh Merapi dini hari itu terdengar tak hanya dari daerah sekitarnya, tapi juga hingga Kota Yogyakarta. Lewat tengah malam terdengar suara dentuman disusul hujan abu. Hingga pagi hujan abu tak kunjung berhenti. Seharian Yogyakarta dan sekitarnya gelap. Jalanan dipenuhi abu vukanik, udara sangat kotor dan jarak pandang hanya beberapa meter. Pegendara mobil dan motor harus ekstra hati-hati. Toko dan warung makan tutup, anak sekolah libur. Hujan abu juga mengakibatkan Bandara Adisutjipto ditutup. General Manaher PT Angkasa Pura I Cabang Bandara Adisutjipto Agus Andriyanyo mengungkapkan,  semua penerbangan dari dan ke Yogyakarta ditunda.
Energi Besar Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, R Sukhyar di kantor BPPTK Yogyakarta, mengatakan, letusan kali ini merupakan yang terbesar dalam 100 tahun sejarah Gunung Merapi. Selama dua hari, Merapi tak henti mengeluarkan awan panas.

”Sejak Rabu (3/11) sekitar pukul 11.11 letusan terus terjadi tanpa henti hingga hari ini (kemarin-Red). Kondisi tersebut menandakan energi yang besar di dalam dan desakan magma yang menekan kuat untuk keluar,” jelas Sukhyar yang didampingi Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Kementerian ESDM, Surono dan Kepala BPPTK Yogyakarta, Subandriyo.

Menurutnya, letusan Merapi kali ini juga merupakan yang terbesar setelah letusan Gunung Galunggung di Jawa Barat pada 1982. Atas berbagai pertimbangan itu pula pihaknya memperluas zona bahaya dari semula 15 kilometer menjadi 20 kilometer dari puncak.(H50,sgt,D19,ang, H66,pr,H33,H34,G10,dwi-59)