Selasa, 18 Oktober 2011

KEMENDIKBUD, nama baru yang lama


JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) kemungkinan besar akan mendapatkan tugas baru mengurus kebudayaan, tak semata soal pendidikan. Hal itu diungkapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional, Mohammad Nuh, Senin (17/10/2011), di Gedung Kemdiknas, Jakarta.
Selama ini urusan kebudayaan ada di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Kembudpar, padahal kebudayaan itu tidak bisa dilepaskan dari pendidikan.
-- Mohammad Nuh
Nuh mengatakan, tugas baru yang akan diemban oleh Kemdiknas itu karena di dalam kebudayaan juga mengandung unsur tuntunan yang tidak terlepas dari pendidikan itu sendiri. Selama ini, kebudayaan menjadi domain kewenangan yang melekat pada Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
"Dari berbagai pandangan dan dilihat lebih mendalam. Urusan kebudayaan bisa dibagi dua, ada yang namanya tuntunan dan tontonan," kata Nuh.
Ia menjelaskan, tuntunan dalam kebudayaan itu terkait dengan nilai dan tidak sesuai jika dikomersilkan. Menurutnya, perdebatan mengenai kebudayaan itu lebih dekat pada persoalan yang melekat pada diri manusia. Baik yang menyangkut pola pikir, kepercayaan yang dianut, kebiasaan dan budaya itu sendiri.
Ekspresi budaya, kata dia, memang sangat beragam, yang bermakna hiburan maka bisa digali dan menjadi sumber daya ekonomi. Akan tetapi pada dasarnya unsur budaya itu melekat pada diri manusia itu sendiri. Oleh karena itu pendidikan karakter dicanangkan karena melekat pada proses pembudayaan.
"Selama ini urusan kebudayaan ada di Kementerian Kebuidayaan dan Pariwisata (Kembudpar), padahal kebudayaan itu tidak bisa dilepaskan dari pendidikan itu sendiri. Budaya kan tata krama, kita tidak ingin membangun Indonesia tapi jiwanya non Indonesia. Kita juga tidak ingin membangun budaya, tetapi budayanya non Indonesia," ujarnya.
Oleh karena itu, kata Nuh, kemungkinan besar besok akan diumumkan secara resmi mengenai perubahan Kembudpar menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, sedangkan Kemdiknas akan berubah nama menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
"Konsep besarnya sudah saya pelajari dan itu benar. Pendidikan kebudayaan kita ambil alih dan kebudayaan yang bisa dikomersilkan akan masuk dalam pariwisata dan ekonomi kreatif," ujarnya.
Perubahan pada kebijakan urusan kebudayaan ini menjadi bagian dari proses perombakan Kabinet Indonesia Bersatu II yang saat ini tengah digodog Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kemungkinan, penambahan satu orang wakil menteri di tubuh Kemdiknas terkait bertambahnya tanggung jawab dan tugas Kemdiknas dalam mengurus soal kebudayaan. Inspektur Jenderal Kemdiknas Musliar Kasim diangkat sebagai wakil menteri yang akan membidangi pendidikan. Sebelumnya, Mendiknas M Nuh telah didampingi seorang wakil menteri yaitu Fasli Jalal.

RSBI, RIWAYATMU...

FSGI Ajukan Judicial Review

  • Terkait Kebijakan RSBI
JAKARTA - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) bersama Komite Pendidikan, Indonesia Corruption Watch (ICW), dan YLBHI sedang menyiapkan judicial review atas Pasal 50 ayat 3 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), terkait kebijakan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI).
"Kami sudah sampai materi gugatan. Kalau tidak ada halangan mungkin dua minggu lagi atau paling lambat satu bulan lagi akan kami ajukan ke Mahkamah Konstitusi," kata  Sekretaris Jenderal FSGI Retno Listyarti, di Jakarta, kemarin.
Dasar dari rencana judicial review tersebut, karena Pasal 50 ayat 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas berseberangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Konstitusi mengamanatkan kepada negara untuk menjamin pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya pada sekolah dasar, tetapi keberadaan RSBI tidak akan pernah lepas dari pungutan.
"RSBI itu bukan hanya SMA dan SMK, tapi juga SD dan SMP, padahal SD dan SMP ini pendidikan dasar yang pada Pasal 31 (UUD), jelas disebutkan bahwa negara wajib membiayai. Keberadaan RSBI menjadikan pendidikan menjadi sangat mahal," tandasnya.
Tidak Konsisten
Menurutnya, jika negara berkewajiban menanggung biaya sekolah dasar (SD dan SMP), maka tidak seharusnya ada pungutan yang dibebankan kepada siswa sekolah tingkat dasar. Keberadaan SD dan SMP berstatus RSBI justru menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah dalam menjalankan amanat konstitusi.
Dia menjelaskan, pendidikan itu adalah hak dasar setiap warga negara, dan negara berkewajiban untuk memenuhi. "DPR sepertinya terlewat ada pasal nyempil yang mengakibatkan terjadinya legalitas atas semua pungutan. Negara sepertinya mencoba lepas tangan," ungkap Retno yang juga guru SMAN 13 Jakarta ini.
Dia menuturkan, keberadaan RSBI justru menciptakan kastanisasi dalam dunia pendidikan. Dirinya menyayangkan adanya anggapan, baik dari pemerintah maupun banyak kalangan yang menilai bahwa sekolah dengan standar internasional adalah sekolah yang bermutu.
Menurutnya, hal tersebut justru bertentangan dengan semangat para pendiri bangsa yang menginginkan pendidikan di Indonesia berlandaskan kepada budaya bangsa.
Dosen Universitas Indonesia Faisal Basri Batubara mengatakan, keberadaan RSBI menunjukkan adanya diskriminasi pendidikan. Hanya orang-orang kaya yang dapat menyekolahkan anaknya di sekolah berstandar internasional, yang notabene memiliki kualitas baik.
Negara seharusnya menghadirkan standar pendidikan yang merata. ''Jangan sampai standar yang baik hanya dinikmati oleh orang kaya saja," ungkapnya. (K32-37)  (dikutip dari Suara Merdeka 18 Oktober 2011)