Rabu, 24 November 2010

Bahasa Asing Tetap Jadi Pengantar

Pendidikan: 12 Nopember 2010 suara merdeka

  • Khusus Sekolah Internasional
SEMARANG- Meskipun bahasa ibu di setiap bangsa dianggap menjadi penentu keberhasilan Millenium Development Goals (MDGs) dalam konferensi internasional di Bangkok, belum lama ini, bahasa asing tetap penting, terutama sebagai pengantar di sekolah bertaraf internasional.

''Bahasa asing terutama Inggris harus tetap diperbolehkan jika digunakan di sekolah bertaraf internasional seperti RSBI. Pasalnya, bahasa ini mempunyai nilai daya saing yang tinggi dalam berkompetisi dengan bangsa lain,'' kata Ketua Pusat Pelatihan Bahasa Universitas Negeri Semarang (PPB-Unnes) Dr Abdurahman Faridi MPd, Kamis (11/11).

Dalam penyelenggaraan sekolah bertaraf internasional, lanjut dia, sudah ada aturan dan undang-undangnya, bahwa bahasa Inggris tetap menjadi bahasa pengantar yang wajib digunakan. Apalagi bagi sekolah yang mempunyai jurusan bahasa.

Bahasa Indonesia dianggap bahasa ibu yang sudah mapan, karena biasa dipakai dan kemudian pada jurusan itu siswa diharapkan dapat menguasai bahasa asing lainnya seperti, Inggris, Jerman, Prancis, dan China.

Penggunaan bahasa ibu memang tetap menjadi utama bagi masyarakat lokal atau pedesaan, sebab bahasa tersebut dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengembangkan diri.

Namun, Faridi menuturkan, tidak ada salahnya untuk mengajarkan atau mempelajari bahasa asing mulai dari pendidikan dasar, meskipun tidak dijadikan sebagai bahasa pengantar.

''Dalam pembelajaran bahasa, baik bahasa lokal, nasional, ataupun asing, siswa harus merasa nyaman. Guru dalam mengajar juga perlu punya strategi dan metode yang menyenangkan dan sesuai dengan kaidah.''  (K3,H70-37)

RSBI/SBI Pemerintah Harus Berani Hentikan RSBI

Laporan wartawan KOMPAS Ester Lince Napitupulu
Jumat, 5 November 2010 | 18:28 WIB

Ilustrasi: Di SMA/SMK, besarnya SPP Rp 500.000 dan DSP Rp 15 juta. Biaya-biaya tersebut belum termasuk biaya tes masuk dan biaya belajar atau studi banding ke sekolah di luar negeri.

JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah diminta untuk menghapuskan proyek rintisan sekolah bertaraf internasional atau sekolah berstandar internasional di jenjang pendidikan dasar hingga menengah yang dimulai sejak 2006. Pemerintah seharusnya fokus menjalankan kewajiban untuk meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan sehingga setiap sekolah di seluruh pelosok Tanah Air mencapai delapan standar nasional pendidikan (SNP).
Kemendiknas mendorong sekolah berlabel RSBI untuk melakukan pungutan kepada orangtua atau calon orangtua murid. Tak ada aturan mengendalikan pungutan yang dilakukan oleh sekolah.
-- Ade Irawan
Pasalnya, proyek rintisan sekolah bertaraf internasional atau sekolah berstandar internasional (RSBI/SBI) mendorong kastanisasi, antidemokrasi, dan bertentangan dengan tujuan pendidikan. Selain itu, program ini justru menciptakan hambatan bagi warga untuk mendapat pelayanan pendidikan berkualitas karena elitis bagi kelompok tertentu, padahal dana yang dikucurkan berasal dari APBN.
Demikian kesimpulan dari studi awal Proyek RSBI/SBI yang dilaksanakan Koalisi Pendidikan. Yang tergabung dalam koalisi ini antara lain serikat guru dari berbagai wilayah di Indonesia, Aliansi Orang Tua Peduli Pendidikan, dan Indonesia Corruption Watch (ICW).
Ade Irawan, Koordinator Monitoring Pelayanan Publik ICW, di Jakarta, Jumat (5/11/2010), mengatakan bahwa subsidi dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk setiap RSBI rata-rata mencapai Rp 1,5 miliar. Namun, pemerintah membebaskan sekolah dalam memungut uang dari calon orangtua atau orangtua murid.
Rata-rata pungutan masuk RSBI SD untuk SPP sebesar Rp 200.000 per bulan, sedangkan dana sumbangan pembangunan (DSP) mencapai Rp 6 juta. Di RSBI SMP, besar SPP sekitar Rp 450.000 dan DSP Rp 6 juta.
Di SMA/SMK, besar SPP Rp 500.000 dan DSP Rp 15 juta. Biaya-biaya tersebut belum termasuk biaya tes masuk dan biaya belajar atau studi banding ke sekolah di luar negeri.
Ade mengatakan, Kemendiknas mendorong sekolah berlabel RSBI untuk melakukan pungutan kepada orangtua atau calon orangtua murid. Tidak ada aturan untuk mengendalikan pungutan yang dilakukan oleh sekolah.

RSBI/SBI Ah, Apanya yang Internasional?

Sabtu, 6 November 2010 | 10:29 WIB

Ilustrasi: Koalisi Pendidikan menilai, konsep RSBI tidak jelas, mutu pendidikan tidak bertambah baik, malah terjadi diskriminasi pendidikan.

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah diminta untuk menghapuskan proyek rintisan sekolah bertaraf internasional yang dimulai sejak 2006. Karena konsepnya tidak jelas, mutu pendidikan tidak bertambah baik, malah terjadi diskriminasi pendidikan.
Kenyataannya, yang dikejar adalah fasilitas sekolah, penggunaan bahasa Inggris, dan jadi pembenar bagi sekolah melakukan pungutan. Ini keliru besar.
-- Mochtar Buhori
Pemerintah seharusnya fokus menjalankan kewajiban untuk meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan sehingga setiap sekolah di seluruh pelosok Tanah Air mencapai delapan standar nasional pendidikan. Proyek rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI) dalam kenyataannya menciptakan hambatan bagi warga untuk mendapatkan pelayanan pendidikan berkualitas.
Demikian kesimpulan dari studi awal proyek RSBI/SBI yang dilaksanakan Koalisi Pendidikan. Tergabung dalam koalisi ini, antara lain, serikat guru dari berbagai wilayah di Indonesia, Aliansi Orang Tua Peduli Pendidikan, dan Indonesia Corruption Watch (ICW).
Secara terpisah, praktisi pendidikan Mochtar Buhori, Jumat (5/11/2010), mengatakan, konsep ”internasional” dalam RSBI tidak jelas. ”Standar internasional itu apanya? Kenyataannya, yang dikejar adalah fasilitas sekolah, penggunaan bahasa Inggris, dan jadi alasan pembenar bagi sekolah untuk melakukan pungutan. Ini keliru besar,” ujarnya.
Dana melimpah
Ade Irawan, Koordinator Monitoring Pelayanan Publik ICW, mengatakan, subsidi dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk setiap RSBI rata-rata mencapai Rp 1,5 miliar per tahun. Namun, ironisnya, pemerintah menutup mata ketika sekolah melakukan pungutan tanpa batas kepada orangtua siswa.
Dari hasil penelitian Koalisi Pendidikan, pungutan masuk RSBI sekolah dasar rata-rata SPP Rp 200.000 per bulan, sedangkan dana sumbangan pembangunan (DSP) mencapai Rp 6 juta. Di RSBI SMP, besarnya SPP sekitar Rp 450.000 dan DSP Rp 6 juta.
Di SMA/SMK, besarnya SPP Rp 500.000 dan DSP Rp 15 juta. Biaya-biaya tersebut belum termasuk biaya tes masuk dan biaya belajar atau studi banding ke sekolah di luar negeri.
Ade mengatakan, Kemendiknas mendorong sekolah berlabel RSBI untuk melakukan pungutan kepada orangtua atau calon orangtua murid. Tak ada aturan untuk mengendalikan pungutan yang dilakukan oleh sekolah.
Lody Paat, Koordinator Koalisi Pendidikan, menjelaskan, secara konsep, program RSBI bertentangan dengan tujuan pendidikan seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945. Program RSBI tidak berkontribusi signifikan dalam peningkatan mutu pendidikan nasional.
”Pemerintah mengabaikan kewajiban konstitusionalnya dalam menyediakan layanan pendidikan murah dan berkualitas,” kata Lody.
Secara teknis, program RSBI cenderung dipaksakan. Pelaksanaannya pun ”amatiran”, mulai dari sosialisasi, penentuan sekolah pelaksana, serta pemantauan dan evaluasi. Kualitas guru RSBI masih buruk, terutama dalam penggunaan bahasa Inggris. (ELN)

RSBI "Jago Ngomong Inggris Biar Tampak Keren? "

Laporan wartawan KOMPAS Ester Lince Napitupulu
Jumat, 12 November 2010 | 10:39 WIB

ILUSTRASI: Dalam pembelajaran bahasa inggris, anak-anak justru didorong untuk mampu menguasai banyak kosa kata, bukan hanya dijejali dengan struktur bahasa.

JAKARTA, KOMPAS.com - Sekolah dan masyarakat saat ini telah menanamkan paradigma yang keliru bagi generasi muda dengan menempatkan hal-hal yang berasal dari luar negeri, khususnya dunia barat, sebagai tanda kemajuan dan internasional. Sementara itu, nilai-nilai ke-Indonesia-an, yang salah satunya bangga berbahasa Indonesia, semakin luntur.
Anak-anak sekarang merasa lebih keren kalau jago ngomong bahasa Inggris. Sementara kemampuan berbahasa indonesia justru dipelajari alakadarnya.
-- E Baskoro Poedjinoegroho
"Anak-anak sekarang merasa lebih keren kalau jago ngomong bahasa Inggris. Sementara kemampuan berbahasa indonesia justru dipelajari alakadarnya. Bahkan, banyak siswa yang merasa tidak senang dengan pelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Ini kan aneh. Tetapi lingkungan sekeliling mereka juga memang lebih menghargai yang berbau asing daripada yang khas Indonesia," jelas E Baskoro Poedjinoegroho, Pembina Kolese Kanisius di Jakarta, Kamis (11/11/2010) kemarin.
Ia mengatakan, meskipun siswa Kanisius banyak yang melanjutkan pendidikan ke luar negeri, sekolah tidak serta-merta mengubah bahasa pengantar di sekolah dengan bahasa Inggris atau dua bahasa.
"Kami tidak ingin bahasa asing itu sebagai tempelan atau label saja. Sebab, kalau belajar bahasa bukan sekadar bisa menggunakan bahasa itu, tetapi juga kita memahami pola pikir masyarakat pengguna bahasa itu. Kami justru memperkuat karakter, supaya mereka tetap bangga menjadi anak Indonesia," papar Baskoro.
Pekerjaan besar sekarang ini, kata dia, adalah membuat anak-anak muda memiliki disiplin berbahasa. Para guru harus bisa membuat pelajaran bahasa indonesia itu menarik.
Jajang, Ketua Asosiasi Guru Bahasa Indonesia, mengatakan bahasa asing yang semakin menguat di sekolah merupakan tanda-tanda kurang baik untuk nasionalisme. Karena itu, guru-guru bahasa Indonesia mesti diperkuat profesionalisme mengajar bahasa Indonesia dengan metode-metode yang inovatif dan kreatif.
"Guru bahasa Indonesia belum berkembang kemampuannya untuk memakai model-model pembelajaran yang menyenangkan. Anak-anak di sekolah itu seharusnya belajar berbahasa, bukan belajar tentang bahasa," kata Jajang.
Keterampilan berbahasa Indonesia dengan baik, kata Jajang, mesti diperkuat. Apalagi bangsa ini menghadapi persoalan dengan rendahnya minat baca dan kemampuan menulis. Belajar bahasa indonesia mesti bisa mendorong anak gemar membaca dan bisa menulis. Ini bisa dengan memperkuat bahasan soal sastra. Dengan anak banyak membaca, mereka bisa termotivasi untuk belajar banyak hal, termasuk bahasa asing," ujar Jajang.
Asep Tapip, guru Bahasa Inggris SMKN 15 Bandung, mengatakan pembelajaran bahasa inggris di sekolah semestinya disesuaikan dengan kebutuhan apakah untuk mampu bercakap-cakap, bekerja, atau ilmiah. Dalam pembelajaran bahasa inggris, anak-anak justru didorong untuk mampu menguasai banyak kosa kata, bukan hanya dijejali dengan struktur bahasa.