Jumat, 12 November 2010

Foto Merapi dari Ketep Magelang

ABU VULKANIK—Asap keluar dari puncak Gunung Merapi dengan latar depan permukiman di Desa Ketep, Magelang, Jawa Tengah yang tertutup abu vulkanik,

PENELITIAN "Perpustakaan Digital Sudah Bisa Diakses"

Kamis, 11 November 2010 | 16:45 WIB
 
KemenristekDi http://pustaka.ristek.go.id saat ini akses yang baru terbuka bagi peneliti di Lembaga Pemerintah non-Kementerian (LPNK) seperti BPPT, LIPI, LAPAN, BATAN, Bapeten, BSN dan peneliti di Puspiptek.

JAKARTA, KOMPAS.com — Peneliti Indonesia kini bisa mengakses sekitar 2.000 jurnal ilmiah internasional setelah portal perpustakaan digital diluncurkan oleh Kementerian Riset dan Teknologi. Di perpustakaan digital ini, sekitar 2.000 jurnal ilmiah internasional bisa diakses para peneliti kita.
Akses berlangganan ke jurnal internasional bagi para peneliti kita terlalu mahal. Karena itu, kami memfasilitasinya. Mereka bisa mendapat password untuk akses ini.
-- Suharna Surapranata
Demikian dikatakan Menteri Riset dan Teknologi Suharna Surapranata di Jakarta, Kamis (11/11/2010), pada peluncuran perpustakaan digital http://pustaka.ristek.go.id. Untuk sementara, kata dia, yang baru terbuka adalah akses bagi peneliti di lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK), seperti BPPT, LIPI, LAPAN, BATAN, Bapeten, BSN, dan peneliti di Puspiptek.
"Ke depan akan dibuka juga kerja sama dengan berbagai badan litbang kementerian, pemda, dan perguruan tinggi," ujar Suharna.
Menurut dia, selama ini para peneliti Indonesia sulit mendapatkan akses ke berbagai jurnal internasional sehingga tak mengetahui temuan terakhir dunia. Para peneliti juga tak bisa memetakan riset yang dibutuhkan dan sering terjadi penelitian yang tumpang tindih.
Suharna juga menyesalkan rendahnya publikasi peneliti Indonesia yang hanya antara 300 dan 400 artikel per tahun. Ia membandingkan jumlah tersebut dengan publikasi penelitian di China yang mencapai 250.000 artikel per tahun atau Jepang sebanyak 100.000 dan Korea Selatan 50.000 artikel per tahun.
"Dengan terbukanya akses ke jurnal ilmiah itu, para peneliti Indonesia diharapkan bisa mengetahui kondisi terakhir penelitian di dunia dan makin bersemangat melanjutkan berbagai penelitian tersebut," ujarnya.
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Bidang Kebijakan Iptek KRT Dr Ade Komara Mulyana mengatakan, akses ke jurnal ilmiah internasional ini melalui science direct yang merupakan penyedia kumpulan jurnal ilmiah terbesar di dunia.
"Akses berlangganan ke jurnal internasional bagi para peneliti kita terlalu mahal. Karena itu, kami memfasilitasinya. Mereka bisa mendapat password untuk akses ini," katanya.
Ke depan, kata dia, selain bekerja sama dengan science direct, pihaknya juga berharap bisa berlangganan IEEE, penyedia jurnal internasional lainnya dan Proquest yang sebenarnya sudah dijadikan langganan oleh Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional untuk berbagai universitas.
KRT, ujarnya, juga memfasilitasi para penelitinya di LPNK yang ingin artikelnya dipublikasikan di jurnal internasional setelah diseleksi oleh pihak penerbit. Biaya publikasi mencapai 500 dollar AS per artikel.
Adapun Indonesia saat ini memiliki 6.000 jurnal ilmiah nasional terakreditasi dengan 25.000 artikel per tahunnya.

RSBI Bahasa Asing di RSBI "Memble"

Jumat, 12 November 2010 | 10:11 WIB BANGKOK, KOMPAS.com -
 
shutterstockIlustrasi: Hasil penelitian itu menyebutkan, penggunaan bahasa asing tidak efektif karena jumlah guru yang berkemampuan mengajar dalam bahasa Inggris kurang dari 25 persen. Mayoritas guru hanya sekadar bisa berbicara dalam bahasa Inggris.

Bahasa asing sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) di Indonesia berjalan tidak efektif. Ini disebabkan tidak ada standar pengajaran yang jelas sehingga metode pengajaran bahasa asing setiap guru berbeda.
Setiap guru di satu sekolah yang sama bisa saja metode pengajaran dengan bahasa Inggrisnya berbeda-beda, karena tidak ada panduan dan standar pengajaran yang jelas.
-- Danny Whitehead
Hal itu dikemukakan Head of English Development British Council Danny Whitehead yang memaparkan hasil penelitian Stephen Bax dari University of Bedfordshire, Inggris, di konferensi internasional ”Language, Education, and Millenium Development Goals (MDGs)”, Kamis (11/11/2010) di Bangkok, Thailand.
”Setiap guru di satu sekolah yang sama bisa saja metode pengajaran dengan bahasa Inggrisnya berbeda-beda. Ini disebabkan tidak ada panduan dan standar pengajaran yang jelas,” ungkap Whitehead.
Hasil penelitian itu juga menyebutkan, penggunaan bahasa asing tidak efektif karena jumlah guru yang memiliki kemampuan mengajar dalam bahasa Inggris kurang dari 25 persen. Mayoritas guru hanya sekadar bisa berbicara dalam bahasa Inggris.
”Mahir bicara dalam bahasa Inggris dan mampu mengajar dalam bahasa Inggris jelas dua hal yang berbeda. Guru harus dilatih secara khusus untuk bisa mengajar dengan bahasa Inggris,” kata Whitehead. (LUK)

Bahasa Asing di RSBI Tidak Efektif

Jumat, 12 November 2010 | 04:06 WIBBangkok, Kompas 
Bahasa asing sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah yang berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional di Indonesia berjalan tidak efektif. Ini disebabkan tidak ada standar pengajaran yang jelas sehingga metode pengajaran bahasa asing setiap guru berbeda.
Hal itu dikemukakan Head of English Development British Council Danny Whitehead yang memaparkan hasil penelitian Stephen Bax dari University of Bedfordshire, Inggris, di konferensi internasional ”Language, Education, and Millenium Development Goals (MDGs)”, Kamis (11/11) di Bangkok, Thailand.
”Setiap guru di satu sekolah yang sama bisa saja metode pengajaran dengan bahasa Inggrisnya berbeda-beda. Ini disebabkan tidak ada panduan dan standar pengajaran yang jelas,” ungkap Whitehead.
Hasil penelitian itu juga menyebutkan, penggunaan bahasa asing tidak efektif karena jumlah guru yang memiliki kemampuan mengajar dalam bahasa Inggris kurang dari 25 persen. Mayoritas guru hanya sekadar bisa berbicara dalam bahasa Inggris.
”Mahir bicara dalam bahasa Inggris dan mampu mengajar dalam bahasa Inggris jelas dua hal yang berbeda. Guru harus dilatih secara khusus untuk bisa mengajar dengan bahasa Inggris,” kata Whitehead.
Tak harus RSBI
Untuk meningkatkan mutu pendidikan, kata Whitehead, tidak perlu melalui pendirian rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI). Justru akan lebih efektif jika pemerintah memusatkan perhatian pada metode dan proses pengajaran, baik di RSBI maupun non-RSBI. Bahkan, RSBI sebenarnya bisa mengembangkan kurikulumnya sendiri dengan tetap berdasarkan kurikulum nasional dan tidak perlu mengambil mentah-mentah dari negara lain. ”Jangan justru mendahulukan keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh,” kata Whitehead.
Hal senada diutarakan konsultan pendidikan di British Council Indonesia, Hywel Coleman. Ia mengaku khawatir RSBI justru menciptakan diskriminasi pendidikan yang semakin lebar. Apalagi kurikulum RSBI sebagian diambil dari sekolah luar negeri.
”Biaya pendidikan di RSBI sebenarnya bisa murah jika kurikulum yang digunakan kurikulum buatan sendiri,” kata Coleman.
Ia khawatir akan banyak anak yang tidak bisa menikmati pendidikan berkualitas baik, seperti di Pakistan dan Thailand.
Karena sudah telanjur harus ada sesuai undang-undang, Whitehead dan Coleman menyarankan agar pemerintah mengawasi dan mengevaluasi RSBI, terutama efektivitas dalam pengajaran menggunakan bahasa Inggris.
”Sampai saat ini belum ada evaluasi menyeluruh dari pemerintah tentang RSBI,” kata Whitehead. (LUK)

Bagaimana komentar anda?